Jumat, 27 April 2012

Falsafah PSHT

Falsafah PSHT



Urip Iku Urup (Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya memberi manfaat nagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik, tapi sekecil apapun manfaat yang dapat kita berikan, jangan sampai kita menjadi orang yang meresahkan masyarakat).

* Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara (Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak).

* Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti (segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar)

* Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha (Berjuang tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan; kekayaan atau keturunan; Kaya tanpa didasari kebendaan)

* Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan (Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu).

* Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman (Jangan mudah terheran-heran; Jangan mudah menyesal; Jangan mudah terkejut-kejut; Jangan mudah kolokan atau manja).

* Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman (Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi).

* Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka (Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah;Jjangan suka berbuat curang agar tidak celaka).

* Aja Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo (Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat).

* Aja Adigang, Adigung, Adiguna (Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti).

* sepiro gedhene sengsoro yen tinompo amung dhadi cubo( seberapa besar masalh jika diterima dengan lapang/ikhlas hanya menjadi cobaan/ringan

SUKA DUKA MELATIH DAN DILATIH UNTUK PSHT

Suka duka melatih

Adalah suatu kewajiban bagi semua anggota Warga Persaudaraan Setia Hati Terate Di mana saja berada dan siapapun orang nya tanpa terkecuali Untuk Mengamalkan Ilmu-ilmu yang telah di dapat dari hasil mengikuti latihan, agar supaya bisa meneruskan apa yang telah di cita-citakan oleh Eyang Soerodiwiryo, yaitu menjadikan manusia yang berbudi luhur dan dapat memayu hayuning bawono karena Allah SWT, dan menciptakan sumberdaya manusia yang kuat dan sehat jasmani maupun rohani. akan tetapi mungkin banyak halangan dan rintangan yang akan di hadapi untuk mencapai tujuan tersebut, Seorang pelatih harus berfikir untuk melupakan jasa dan kebaikan diri ; Semakin kita ingin dihargai, semakin kita ingin dihormati, semakin kita ingin dipuji, semakin kita banyak sakit hati hanya akan menyengsarakan kita , oleh karena itu lupakanlah……. Tuhan Maha Melihat semakin kita merasa berjasa hanya akan menyebabkan sakit hati,saudaraku pujian manusia kecil, pujian Tuhan-lah yang kekal,Pujian Tuhan-lah mulia dunia akherat Wahai saudara-saudaraku para pelatih marilah kita sebisa mungkin melupakan jasa-jasa kita, biarlah orang lain tidak ada tahu, jadilah seperti garam dilautan, asin terasa tapi tidak kelihatan, jangan seperti gincu kelihatan tapi tidak terasa, kita harus memulai berbuat sesuatu seperti beton, mengokohkan tanpa harus kelihatan, seperti jantung, siang malam kerja tanpa kelihatan ,kita tidak akan sukses kalau di organisasi kita tercinta ini ingin menonjolkan diri, Tetap lah semangat Wahai Saudaraku Untuk terus berjuang melatih !!

Suka duka di latih
Kerja keras dan berlatih seorang siswa di suatu dalam bertih adalah suatu kewajiban yang di emban oleh semua siswa tanpa terkecuali, mereka rela di guyur hujan dan kedinginan pada saat musim hujan dan mereka rela pula kepanasan di saat musim kemarau, akan tetapi mereka menjalani dengan penuh rasa suka cita sehingga tidak begitu terasa beban yang di berikan pada mereka.Demi untuk mewujudkan tekad menjadi seorang warga Persaudaraan Setia Hati Terate mereka terus menerus berjuang tanpa mengenal rasa lelah dan bosan, karena mereka sadar kalo Perubahan perjalanan hidup ditentukan oleh perbuatannya sendiri.Tetap lah semangat Wahai Saudaraku Untuk terus berjuang Berlatih !!

ARTI SAUDARA PSHT

Saudara, kita sering mendengar kata ini. Tiap hari, tiap jam, tiap menit, bahkan tiap detik kita mungkin bertemu dengan saudara kita. Baik saudara kandung yang satu rumah dengan kita ataupun saudara yang tidak satu rumah dengan kita, yang rumahnya jauh dengan kita. Disini kita akan melihat saudara yang dihimpun dalam wadah Persaudaraan Setia Hati TERATE. PSHT yang telah menjadikan kita semua sebagai satu saudara. Persaudaraan yang seperti saudara satu kandung bahkan bisa lebih. Kita yang tidak saling mengenal sebelumnya, sekarang bisa saling kenal bahkan bisa saling bersaudara. Kita yang mungkin hanya sebagai teman sebelumnya, sekarang pertemanan itu menjadi lebih dalam ikatan persaudaraan. Bahkan kita yang memang sudah bersaudara sebelumnya, sekarang persaudaraan itu menjadi lebih erat lagi dalam wadah PSHT.
Saudara-saudara kita tersebut merupakan hadiah dari Yang Di Atas buat kita. Seperti hadiah, ada yang bungkusnya bagus/menarik dan ada pula yang bungkusnya kurang menarik. Yang bungkusnya bagus punya wajah yang rupawan dan yang bungkusnya kurang menarik punya wajah yang biasa saja. Tetapi kepribadian adalah sisi yang berbeda dari apa yang terlihat dari luar. Dua yang berbeda itu bisa saja memiliki kepribadian yang menarik atau kepribadian yang biasa saja, atau bahkan menjengkelkan bagi kita. Seperti hadiah pula, ada yang isinya bagus dan ada pula yang isinya jelek yang kurang kita sukai. Yang isinya bagus punya jiwa dan hati yang begitu indah sehingga kita terpukau. Ketika kita berbagi rasa dengannya, ketika kita tahan menghabiskan waktu berjam-jam untuk saling berbagi bersama, bercanda dan tertawa bersama, bercerita dan saling menghibur, menangis bersama, kita menyayangi dia, dan dia menyayangi kita.
Yang isinya jelek/buruk punya jiwa dan hati yang terluka. Begitu dalam luka-lukanya sehingga jiwa dan hatinya tidak mampu lagi mencintai dan menyayangi saudara-saudaranya yang lain. Hal ini justru karena ia tidak merasakan cinta dan kasih sayang dalam hidupnya. Kita sering menerima sebuah sikap penolakan, dendam, kebencian, iri hati, kesombongan, amarah, dan lain-lain dari dirinya. Sehingga membuat kita yang sebagai saudaranya tidak suka dengan jiwa dan hati yang semacam ini, kita pun mencoba menghindar dari mereka. Sayangnya kita tidak tahu bahwa semua itu bukanlah karena saudara-saudara kita tersebut pada dasarnya buruk. Tetapi ketidakmampuan jiwa dan hatinya memberikan cinta dan kasih sayang. Justru itu ia membutuhkan cinta dan kasih sayang kita sebagai saudaranya. Membutuhkan empati dari kita, kesabaran dan keberanian kita sebagai saudaranya untuk mendengarkan luka-luka terdalam yang memasung jiwa dan hatinya.
Bagaimanapun juga, mereka semua adalah saudara-saudara kita yang merupakan hadiah buat kita. Entah bungkusnya bagus ataupun kurang menarik. Entah isinya bagus atau buruk. Mengapa kita harus tertipu oleh kemasan? Hanya ketika kita bertemu antara jiwa dengan jiwa, hati dengan hati, kita tahu hadiah sesungguhnya yang sudah disiapkan-Nya buat kita. Karena persaudaraan didalam PSHT tidak memandang “siapa aku” dan “siapa kamu”, “apa latar belakangmu” dan “apa latar belakangku”. Persaudaraan didalam PSHT adalah suatu persaudaraan yang berasal dari hati sanubari setiap anggota/Warganya masing-masing.
Berikanlah makna di dalam kehidupan kita bukan hanya untuk diri sendiri melainkan juga untuk membahagiakan saudara-saudara kita sesama anggota/Warga PSHT maupun sesama umat manusia lainnya di dalam lingkungan kehidupan kita. Berikanlah waktu kita dengan rasa cinta kasih dan kasih sayang. Tetapi ingatlah bahwa cinta kasih dan kasih sayang tersebut haruslah ada batasnya. Jangan terlalu berlebih-lebihan. Seorang saudara sama seperti satu permata yang tak ternilai harganya. Marilah kita lebih pererat lagi persaudaraan kita. Persaudaraan yang kekal dan abadi takkkan hilang terhapus oleh waktu walaupun jarak serta raga terpisahkan. Persaudaraan antara jiwa dengan jiwa, hati dengan hati. Saudara yang lebih tua menyayangi saudara yang lebih muda. Sebaliknya saudara yang lebih muda harus bisa menghormati saudara yang lebih tua. Tetapi saudara yang lebih tua jangan sampai semena-mena dan bersifat diktator dengan penghormatan tersebut.
Kita harus ikut senang dan gembira jika melihat saudara kita sedang senang dan gembira. Jangan iri jika melihat saudara kita sedang senang dan gembira. Kitapun juga harus bisa ikut merasakan kepedihan dan kesakitan saudara kita jika saudara kita tersebut sedang mengalami suatu masalah/kesulitan. Bila ada masalah diantara kita sesama saudara PSHT maupun dengan orang lain yang bukan Warga PSHT, marilah kita selesaikan secara bersama-sama dengan cara yang laksana dan bijaksana.
Marilah kita jaga bersama hubungan persaudaraan ini. Semoga hubungan tali persaudaraan, hubungan tali silaturahmi diantara kita akan semakin erat dan tetap terjaga. Dan jayalah SH Terate untuk selama-lamanya……….!!! Amin.

Sedulurku
Salam Persaudaraan!

MEMAYU HAYUNING BAWONO PSHT



 Keluarga adalah bagian terkecil dari struktur organisasi di masyarakat. Keluarga merupakan stage awal kehidupan individu manusia berasal. Oleh karena itu, seseorang dikatakan berhasil dalam hidupnya karena juga didukung oleh keluarga yang berhasil mengantarkan dirinya menjadi berhasil, begitu juga seseorang yang dikatakan gagal dalam hidupnya karena didukung oleh kegagalan dalam keluarganya.
Sebelum kita mendidik siswa kita, didiklah dahulu keluarga kita untuk mengetahui tentang “Apa sebenarnya Setia Hati”. Dengan demikian kita akan mengurangi kesalahan-kesalahan yang mungkin kita lakukan ketika kita mendidik siswa tersebut. Selain itu kita memiliki pijakan untuk lebih mantap dan yakin akan apa yang telah kita berikan kepada siswa. Disamping itu, Keluarga merupakan cerminan dari kepribadian kita terhadap keluasan pengetahuan atau ilmu yang kita miliki untuk mengembangkan “Ilmu Setia Hati”.
1. Keluarga adalah cikal bakal semua Individu berasal.
Semua manusia terlahir pastilah memiliki keluarga. Secara sederhana keluarga terdiri dari Ayah, Ibu dan Anak. Kumpulan  keluarga membentuk sebuah kelompok yang dinamakan masyarakat. Perkembangan dari keluarga, masyarakat, berkembang lagi menjadi bangsa dan negara. Dalam skala besar berkembang menjadi bangsa-bangsa atau negara-negara Dunia.
2. Keluarga adalah cerminan kehidupan manusia.
Semakin tinggi kemampuan seseorang menguasai suatu pengetahuan atau ilmu, semakin baik pula dirinya mengatur kehidupan rumah tangganya. Sedangkan seseorang yang mengaku memiliki ilmu setinggi gunung tetapi jika kehidupan rumah tangganya berantakan berarti belum mampu untuk mempergunakan ilmunya untuk memayu hayuning bawono.
3. Keluarga adalah bukti ketinggian pengetahuan atau ilmu yang dimiliki seseorang.
Seseorang yang memiliki pengetahuan atau ilmu; adalah ibarat tanaman padi yang semakin tua semakin berisi, yang semakin tua semakin merunduk, yang semakin tua semakin indah dilihat pandangan mata. Hal ini karena padi tersebut selalu dijaga, dirawat dan diberi pupuk, air dan dilindungi dari segala hal-hal yang bisa mengganggunya. Demikian juga dengan pengetahuan atau ilmu, jika selalu dijaga, diasah dan diamalkan akan menghasilkan suatu kemaslahatan bagi kehidupan manusia tersebut.
Apalah artinya pengetahuan atau ilmu yang tinggi jika kehidupan keluarganya rusak, porak-poranda, penuh dengan keributan, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lainnya. Oleh karena itu, kehidupan rumah tangga adalah cerminan ketinggian pengetahuan atau ilmu seseorang. Semakin tinggi pengetahuan atau ilmu seseorang maka semakin tinggi juga kemampuan untuk membentuk, mengatur dan membuat keluarganya lebih harmonis, mawaddah wa rahmah…. Amin..
Dengan konsep-konsep tersebut diharapkan seluruh Warga SH Terate memandang perlu membentuk keluarga-keluarga yang baik, harmonis, dapat menjadi contoh kehidupan berkeluarga di lingkungannya dan dapat menjadikan keluarga sebagai tempat yang nyaman, aman, bahagia, tentram dalam lahir maupun bathin.

Wong SH

Pribadi orang SH, seperti apa itu?
Sempat diungkap beberapa waktu lalu oleh sedulur kita di kolom olah rasa, menjadi orang SH adalah sebuah pilihan hidup.
Kita semua tentu pernah mendengar adagium ” HIDUP ADALAH SEBUAH PILIHAN ”
Sebagai manusia yang diberi akal budi,dan kehendak bebas,hidup yang kita jalani mestinya memang menjadi sebuah pilihan.



Setelah memilih, tentu ada sederet konsekuensi yang mengikuti. Salah satunya menyangkut pribadi. Pribadi orang SH memang sepatutnya mencerminkan pribadi yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran SH. Tidak perlu menggunakan bahasa yang sulit untuk menjelaskannya. Dimulai dari diri sendiri, dimana belajar menjadi pribadi yang mensyukuri nikmat, ndak ngoyo, tapi tetap berusaha memberikan yang terbaik dalam hidup.
Mungkin usia saya terlalu muda untuk mengajari tentang hidup, tapi belajar dari pengalaman yang tak seberapa membawa saya menjadi pribadi yang terus berusaha menjiwai ajaran SH. Sehingga menjadi pribadi yang lebih mudah bersyukur dalam mensyukuri segala nikmat-Nya.
Suatu kewajaran saat langkah terantuk hambatan, mungkin akan merasakan keputusasaan yang akhirnya melemahkan diri sendiri. Tapi, setelah merenungkan satu petuah  dalam ajaran SH, bahwa “Sepiro gedhene sengsoro yen tinompo amung dadi cobo”, saya mulai merangkak untuk tetap bisa tegar dan berjuang di tengah langkah yang mungkin tak selalu mudah. Karena dari awal selalu membawa pikiran positif, inilah hidup. Gak ada hidup yang lurus-lurus saja, atau mulus-mulus saja.
Mungkin ini baru satu dari sekian banyak petuah untuk menjadi pribadi SH, bagaimana menjadi pribadi yang kuat, tak pantang menyerah, dan terus berfikiran positif dalam menerima jalan hidup yang Tuhan berikan. Bukankah ditengah takdir, ada nasib yang masih bisa kita ubah?
Dengan mencoba menjadi pribadi SH, saya belajar mengerti hidup yang sebenarnya. Seperti menjadi pribadi yang nerimo, bahwa apa yang datang, itu pasti akan pergi, bahwa apa yang pernah ada, suatu saat akan tiada. Bahwa apa yang dipunya, tak kekal sifatnya. Semoga bisa menjadi renungan bersama.
*Untuk saya yang pernah merasa kehilangan sesuatu yang dinilai berharga, mungkin itu adalah cara Tuhan untuk mengingatkan mahluknya dengan cara yang lebih dekat

Jumat, 10 Februari 2012

MATERI PKD

 
REKONSTRUKSI TEOLOGIS :MEMPERTIMBANGKAN GAGASAN HASSAN HANAFI
Oleh : Koord. Materi Keislaman
A. Sekilas Biografi Hassan Hanafi
Memahami pemikiran seseorang, tidak bisa dilepaskan dari perspektif historis kelahiran pemikiran beserta ruang lingkup yang mempengaruhinya. Ada beragam faktor yang turut terlibat dalam memunculkankarakteristik pemikiran seseorang. Menurut Anton Bakker dan Charis Zubair (1990: 47), sebagaimana dikutipListiyono Santoso (2007: 267) manusia itu makhluk historis. Maka memahami pemikiran Hanafi juga tidak bisadilepaskan dari berbagai faktor yang mempengaruhi terbentuknya karakteristk dasar pemikirannya.Hassan Hanafi lahir di Kairo, 13 Februari 1935, dari keluarga musisi (
John L. Esposito, 1995:98 )
.Pendidikannya diawali di pendidikan dasar, tamat tahun 1948, kemudian di Madrasah Tsanawiyah ‘Khalil Agha’,Kairo, selesai 1952. Selama di Tsanawaiyah ini, Hanafi sudah aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok IkhwanulMuslimin, sehingga tahu tentang pemikiran yang dikembangkan dan aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan.Selain itu, ia juga mempelajari pemikiran Sayyid Quthub tentang keadilan sosial dan keislaman. Tahun 1952 itu juga, setamat Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan studi di Departemen Filsafat Universitas Kairo, selesai tahun 1956dengan menyandang gelar sarjana muda, terus ke Universitas Sorbone, Prancis. Pada tahun 1966, ia berhasilmenyelesaikan program Master dan Doktornya sekaligus dengan tesis
‘Les Methodes d’Exegeses: Essei sur LaScience des Fondament de La Conprehension Ilmu Ushul Fiqh’ 
dan desertasi
‘L’Exegese de la Phenomenologie, L’etat actuel de la Methode Phenomenologie et son Application au Phenomene Religiux’ 
(
Lutfi Syaukani, 1994:121)
.
Hassan Hanafi harus diakui merupakan seorang intelektual muslim berkebangsan Mesir yang sangat produktif. Pada fase awal pergulatan pemikirannya, tulisan-tulisan Hassan Hanafi bersifat ilmiah murni. Barusetelah itu, ia mulai berbicara tentang keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dan berdimensi pembebasan
(Taharrur, Liberation).
Hal itu mengisyaratkan, bahwa fungsi pembebasan jika kita inginkan, dapat membawa masyarakat pada kebebasan dan keadilan. Pada tahun 80-an Hassan Hanafimulai mengarahkan pemikirannya pada upaya universalisasi Islam sebagai paradigma peradaban melaluisistematisasi proyek “Tradisi dan Modernitas” yang ditampilkan memalui bukunya
al-Turas Wa al-Tajdid 
yangterbit pada tahun 1980. Lalu
al-Yasar al-Islami
(Kiri Islam); sebuah tulisan yang berbau ideologis. Jika KiriIslam baru merupakan pokok-pokok pikiran yang belum memberikan rincian dari program pembaruannya, maka, buku
Min al-Aqidah ila Al-Tsaurah
(5 jilid) yang ditulis hampir sekitar 10 tahun dan baru terbit pada tahun 1988,memuat uraian rinci tentang pembaharuan dan memuat gagasan rekonstruksi ilmu kalam (teologi Islam klasik).Dan tulisan singkat ini mencoba untuk mengurai sedikit tentang gagasan rekonatruksi ilmu kalam ini.
C. Dari Teologi Theosentris ke Antroposentris.
Selain secara teoritis, teologi klasik dianggap tidak ilmiah dan tidak filosofis, karena cenderung lepasdari sejarah dan pembicaraan tentang manusia disamping cenderung sebagai legitimasi bagi status quo, menurutHanafi, secara praktis, teologi tidak bisa menjadi ‘pandangan yang benar-benar hidup’ yang memberi motivasitindakan dalam kehidupan konkrit manusia. Sebab, penyusunan teologi tidak didasarkan atas kesadaran murnidan nilai-nilai perbuatan manusia, sehingga muncul keterpecahan (
 split 
) antara keimanan teoritik dan keimanan praktis dalam umat, yang pada gilirannya melahirkan sikap-sikap moral ganda atau ‘singkritisme kepribadian’.Fenomena sinkritis ini tampak jelas, menurut Hanafi, dengan adanya ‘faham’ keagamaan dan sekularisme (dalamkebudayaan), tradisional dan modern (dalam peradaban), Timur dan Barat (dalam politik), konservatisme dan progresivisme (dalam sosial) dan kapitalisme dan sosialisme (dalam ekonomi). (Hanafi,
1991: 59)
Kerangka konseptual di atas pada gilirannya membuat Hanafi berani mengajukan konsep baru tentangteologi Islam. Tujuannya untuk menjadikan teologi tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kering dankosong melainkan mampu menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsisecara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Karena itu, gagasan-gagasan Hanafi yang berkaitan dengan teologi, berusaha untuk mentranformulasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris menujuantroposentris, dari Tuhan kepada manusia (bumi), dari tekstual kepada kontekstual, dari teori kepada tindakan,dan dari takdir menuju kehendak bebas. Pemikiran ini, minimal, di dasarkan atas dua alasan; pertama, kebutuhanakan adanya sebuah ideologi (teologi) yang jelas di tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat teoritik tetapi sekaligus juga praktis yang bisa mewujudkansebuah gerakan dalam sejarah (
AH. Ridwan, 1998: 44-5)
.Untuk menggagas satu formulasi baru dan menambal kekurangan teologi klasik yang dianggap tidak  berkaitan dengan realitas sosial, Hanafi menawarkan dua teori (
Hanafi, 1991: 408-409)
.
 Pertama
, analisa bahasa.Bahasa dan istilah-istilah dalam teologi klasik adalah warisan nenek moyang dalam bidang teologi yang khas, danseolah-olah sudah menjadi doktrin yang tidak bisa diganggu gugat. Menurut Hanafi, istilah-istilah dalam teologisebenarnya tidak hanya mengarah pada realitas yang transenden dan ghaib, tetapi juga mengungkap tentang sifat-sifat dan metode keilmuan; yang empirik-rasional seperti iman, amal dan imamah, yang historis seperti nubuwahdan ada pula yang metafisik, seperti Tuhan dan akherat.
 Kedua
, analisa realitas. Menurut Hanafi, analisa inidilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi dimasa lalu dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau para penganutnya. Selanjutnya, analisa realitas berguna untuk menentukan stressing bagi arah dan orentasi teologi kontemporer.Untuk melandingkan dua usulannya tersebut, Hanafi paling tidak menggunakan tiga metode berfikir;
dialektika, fenomenologi
dan
hermeunetik.
Dialektika adalah metode pemikiran yang didasarkan atas asumsi bahwa perkembangan proses sejarah terjadi lewat konfrontasi dialektis dimana tesis melahirkan antitesis yangdari situ kemudian melahirkan sintesis. Hanafi menggunakan metode ini ketika, sebelumnya, menjelaskan tentangsejarah perkembangan pemikiran Islam. Juga ketika Hanafî berusaha untuk membumikan kalam yang dianggapmelangit. Maka apa yang dilakukan Hanafi terhadap kalam klasik ini sama sebagaimana yang dilakukan Marxterhadap pemikiran Hegel. Menurut Marx, pemikiran Hegel berjalan di kepalanya, maka agar bisa berjalan

Selayang Pandang PKD XVII PK PMII



Disampaikan oleh : PK PMII
Menanyakan kembali nafas gerakan mahasiswa hari ini yang mulai hilang dari pantauan mata gerakan yang sesungguhnya. Nafas itu sedikit demi sedikit pergi begitu saja tapa menyisakan nafas gerakan sedikitpun, yang tersisa akhirnya adalah matinya gerakan mahasiswa.

Kita sadari bersama akan sulitnya zaman ini, salah satunya adalah kesulitan untuk menemukan realitas di depan mata, kesulitan menemukan realitas akan fenomena masyarakat yang makin hari makin absurd. Pertanyaannya kenapa kemudian kita begitu sulit untuk membongkar realitas yang terjadi di tengah-tengah kehidupan kita?.



Absurditas itu bisa jadi sebab tidak adanya budaya kritis dalam masyarakat indonesia. Sejak dulu kita selalu disodori dengan cerita-cerita kerajaan nusantara yang sampai bisa kekuasaannya melebihi batas Indonesia yang kita kenal sekarang. Begitu gagahnya kerajaan yang pernah ada di bumi nusantara ini, yang menurut cerita sampai bertahan hingga ratusan tahun.

Disisi lain ternyata ada warisan budaya kerajaan yang sampai hari ini masih sangat melekat di Indonesia. Bahwa dalam sistem kerajaan, pemimpin yang disebut Raja memiliki kekuasaan absolut yang tak bisa ditentang oleh siapapun. Yang ditanamkan pada rakyatnya kemudian bahwa melawan perintah Raja merupakan sama halnya melawan Tuhan. Artinya bahwa mulai sejak zaman kerajaan, ditambah lagi kolonial belanda, rakyat kita sudah terbiasa untuk selalu patuh, sengaja dibentuk untuk menjadi pelayan atasan tanpa harus banyak bicara dan protes sediktpun.

Penyadaran akan hak mestinya sudah mulai selalu digencarkan, mulai dari mendefinisikan diri kita yang dilahirkan ke dunia, untuk apa dan kenapa, hingga mulai meraba akan hak sebagai warga dari sebuah negara. Hal ini menjadi mutlak diperlukan, sebab ketika seseorang mengetahui akan hak hak yang mestinya didapat, mereka tak akan lagi mau dibodohi, tak akan lagi menjadi budak.

Kemudian gerakan kolektif untuk mencapai tujuan tertentu juga menjadi bagian terpenting. Sebab saat ini kita terkadang terjebak pada pengkotak-kotakan sosial tertentu. Yang tejadi bahwa bukan untuk mencapai tujuan, malah berlomba-lomba beraktifitas hanya sekedar mencari eksistensi diri yang sangat miskin makna dan tujuan.

Menjadi refleksi bersama orientasi gerakan mahasiswa masa sekarang yang masih belum jelas harus bagaimana, yang belum mampu untuk menentukan prioritas gerakan. Belum lagi semakin gencarnya budaya-budaya yang secara tidak langsung mematikan daya kritis mahasiswa. Ini yang kemudian mematikan langkah untuk bergerak ke arah perubahan yang hari ini seakan menjadi hal yang utopis.

Dibutuhkan persamaan persepsi untuk melakukan gerakan bersama. Semangat dan keyakinan akan gerakan mahasiswa harus terjaga dengan mempertegas gerakan mahasiswa sebagai gerakan civil society. Gerakan ini mencoba untuk membangun kekuatan di ekstra parlemen dimana rakyat tak lagi percaya terhadap mereka yang duduk di dalam perlemen. Kekuatan ekstraparlementer ini yang kemudian bisa selalu untuk mempresure pembuat kebijakan agar kebijakannya populis.

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai salah satu institusi organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan dengan tegas dan jelas merupakan bagian dari komunitas akademisi yang memiliki tanggungjawab terhadap persoalan-persoalan tersebut. Mengingat berdirinya PMII sebagai organisasi mahasiswa yang radikal, progresif dan revolusioner, harus siap melakukan perubahan terhadap berbagai persoalan yang terjadi di tengah masyarakat.

Lebih khusus Pengurus Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PK PMII ) melaksanakan pengkaderan formal (PKD) PMII sebagai kepedulian untuk menemukan identitas mahasiswa yang sesungguhnya. Pelatihan Kader Dasar (PKD) merupakan fase penanaman nilai-nilai dan misi pergerakan serta membentuk militansi kepada anggota untuk menjadi kader PMII. PKD kali ini juga merangkaikan kegiatan dengan Temu Reuni Alumni PMII sebagai wahana silaturrahmi, juga dalam upaya menggali inspirasi dengan menelaah kembali sejarah gerakan PMII  pada masa-mas sebelumnya. 
Pelaksanaan PKD dan Reuni

Sabtu, 28 Januari 2012

SEJARAH PMII


Ada tiga kejadian besar yang sangat menentukan keberadaan PMII. Pertama, deklarasi berdirinya PMII, Kedua, deklarasi independensi, dan Ketiga deklarasi interdependensi.
Berdirinya PMII
Ide besar berdirinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (selanjutnya disingkat PMII saja) tidak dapat dipisahkan dari eksistensi IPNU-IPPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama-Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama). Secara kesejarahan, PMII merupakan matarantai dari Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang dibentuk pada Muktamar III IPNU di Cirebon pada tanggal 27-31 Desember 1958, meskipun sebenarnya upaya untuk mendirikan wadah yang menghimpun mahasiswa nahdliyin sudah dimulai sebelum itu. Buktinya:
  1. Berdirinya IMANU (Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama) pada tahun 1955 di Jakarta, namun kehadirannya kurang bisa diterima karena IPNU baru saja berdiri dan sebagian besar pengurusnya adalah mahasiswa, sehingga dikhawatirkan melumpuhkan IPNU
  2. Pada muktamar II IPNU pada tanggal 1-5 Januari 1956 di Pekalongan muncul keinginan untuk membentuk wadah khusus yang menghimpun mahasiswa Nahdliyin.
  3. PMNU (Persatuan Mahasiswa NU) berdiri di Bandung dan di Surakarta pada tahun 1955 dengan nama KMNU (Keluarga Mahasiswa NU)
Upaya yang dilakukan IPNU dengan membentuk Departemen Perguruan Tinggi tidak banyak memberi arti bagi perkembangan mahasiswa nahdliyin pada waktu itu. Hal itu disebabkan karena:
  • kondisi obyektif menunjukkan bahwa mahasiswa sangat berbeda dengan siswa dalam hal keinginan, dinamika, dan perilaku.
  • kenyataan bahwa gerak Departeman Perguruan Tinggi IPNU sangat terbatas. Untuk dapat duduk dalam anggota PPMI (Persatuan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) dan MMI (Majlis Mahasiswa Indonesia), departemen tersebut tidaklah mungkin bisa
Selain itu, kondisi perpolitikan saat itu juga mendukung keputusan untuk mendirikan wadah khusus mahasiswa. Kondisi politik saat itu yang dianggap mendorong terbentuknya wadah terebut adalah:
  1. wadah Departemen Perguruan Tinggi IPNU dianggap tidak lagi memadai untuk sebuah gerakan mahasiswa
  2. satu-satunya wadah kemahasiswaan Islam yang ada pada saat itu (HMI) tokoh-tokohnya dinilai terlalu dekat dengan Partai Masyumi, sedangkan tokoh Partai Masyumi telah melibatkan diri dalam PRRI
  3. di internal NU, sebagai sebuah partai besar, seringkali harus memberikan jabatan dan kedudukan eksekutif kepada orang-orang di luar NU, karena anggapan lemahnya SDM. Dibutuhkan maneuver untuk meyakinkan semua pihak yang berkepentingan, bahwa di lingkungan NU sudah banyak generasi muda yang berpendidikan perguruan tinggi.
Semangat untuk mendirikan organisasi bagi mahasiswa nahdliyin semakin menguat pada Konferensi Besar IPNU pada tanggal 14-17 Maret 1960 di Kaliurang Yogyakarta. Pada Konferensi ini lahir keputusan “perlunya didirikan suatu organisasi mahasiswa secara khusus bagi mahasiswa nahdliyin”. Untuk mempersiapkan suatu musyawarah pembentukan organisasi mahasiswa tersebut dibentuk panitia yang terdiri dari 13 orang dengan batas waktu bekerja satu bulan dengan rencana tempat pelaksanaan musyawarah di Surabaya. Ke-13 orang tersebut adalah;
  1. Cholid Mawardi (Jakarta)
  2. Said Budairy (Jakarta)
  3. M Sobich Ubaid (Jakarta)
  4. M Makmun Syukri BA (Bandung)
  5. Hilman (Bandung)
  6. H Ismail Makky (Yogyakarta)
  7. Munsif Nahrawi (Yogyakarta)
  8. Nuril Huda Suaidy (Surakarta)
  9. Laily Mansur (Surakarta)
  10. Abd Wahab Jailani (Semarang)
  11. Hisbullah Huda (Surabaya)
  12. M Cholid Narbuko (Malang)
  13. Ahmad Husain (Makasar)
Sebelum melakukan musyawarah mahasiswa nahdliyin tiga dari 13 orang tersebut (yaitu Hisbullah Huda, Said Budairy, dan M Makmun Syukri BA) pada tanggal 19 Maret 1960 berangkat ke Jakarta untuk menghadap Ketua Tanfidziah PBNU KH Dr Idham Khalid untuk meminta nasehat sebagai pedoman pokok permusyawaratan yang akan dilakukan. Pada pertemuan dengan PBNU pada tanggal 24 Maret 1960 ketua PBNU menekankan hendajnya organisasi yang akan dibertuk itu benar-benar dapar diandalkan sebagai kader partai NU dan menjadi mahasiswa yang berprinsip ilmu untuk diamalakan bagi kepentingan rakyat, bukan ilmu untuk ilmu.

Selanjutnya diadakan musyawarah mahasiswa nahdliyin di gedung Madrasah Mualimin Wonokromo Surabaya (YPP Khadijah sekarang/sekretariat PC PMII Surabaya sekarang) pada tanggal 14 – 16 April 1960 yang menghasilkan keputusan :
  1. Berdirinya organisasi nahdliyin, dan organisasi tersebut diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.
  2. Penyusunan peraturan dasar PMII yang dalam mukodimahnya jelas dinyatakan bahwa PMII merupakan kelanjutan dari departemen perguruan tinggi IPNU – IPPNU.
  3. Persidangkan dalam musyawarah mahasiswa nadhiyin itu dimulai tanggal 14 – 16 April 1960, sedangkan peraturan dasar PMII dinyatakan berlaku mulai 21 Syawal 1379 H atau bertepatan pada tanggal 17 April 1960, sehingga PMII dinyatakan berdiri pada tanggal 17 April 1960.
  4. Memutuskan membentuk tiga orang formatur yaitu H. Mahbub Junaidi sebagai ketua umum, A.Cholid Mawardi sebagai ketua I, dan M.Said Budairy sebagai sekretaris umum PB PMII.
    Susuan pengurus pusat PMII periode pertama ini baru tersusun secara lengkap pada bulan Mei 1960
    Mengapa organisasi yang baru dibentuk itu menggunakan nama PMII?, dikalangan peserta musayawarah mahasiswa tersebut terlontar beberapa pemikiran, diantaranya :
    1. Memiliki pola pemikiran seperti pola pemikiran kalangan mahasiswa pada umumnya yang diliputi oleh pemikiran bebas.
    2. Berfikir taktis demi masa depan organisasi yang akan dibentuk, karenanya untuk merekrut anggota harus memakai pendekatan aswaja.
    3. Inisial NU tidak perlu dicantumkan dalam nama organisasi yang akan didirikan itu.
    4. manifestasi nasionalisme sebagai semangat kebangsan, karena itu Indonesia haruslah dicantumkan.
Mengenai nama PMII itu sendiiri adalah usulan dari delegasi Bandung dan Surabaya yang mendapartkan dukungan dari delegasi Surakarta. Sementara delegasi dari Yogyakarta mengusulkan nama Perhimpunan Persatuan Mahasiswa Ahlussunnah Wal Jama’ah. Dan nama Perhimpunan Mahasiswa Sunni, sedangkan utusan dari Jakarta mengusulkan nama IMANU.

Pergerakan yang dimaksudkan dalam PMII adalah dinamika dari hamba yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya meberikan rahmat bagi alam sekitarnya. Dalam koteks individual, maupun organisasi, kiprah kader PMII harus senantiasa mencerminkan pergerakannya menuju kodisi yang lebih baik bagi perwujudan tanggung jawab menberikan rahmat bagi lingkungannya. Pergerakan dalam hubungan dengan organisasi mahasiswa menunutt upaya sadar unntuk membina dan mengembangkan potensi Ketuhanan dan potensi kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kulaitas tinggi.

Pengertian mahasiswa yang dimaksud dalam PMII adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan akademis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut muncul tanggung jawab keagamaan, tanggung jawab intelektual, tanggung jawab sosial kemasyarakatan dan tanggung individual baik sebagai hamba Tuhan maupu sebagai warga negara.

Pengertian Islam yang dimaksud PMII adalah islam sebagai agama yang dipahami dengan paradigma ahlussunah wal jamaah dimana pendekatan terhadap ajaran agama islam dilakukan secara proporsional antara iman, islam dan ihsan yang dalam pola pikir dan perilaku tercerminkan dalam sifat-sifat selektif, komodatif, dan integratif.

Pengertin Indonesia yang dimaksud PMII adalah masyarakat bangsa dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah ideologi bangsa serta UUD 1945 dengan kesadaran kesatuan dan keutuhsn bangsa dan negara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke yang diikat dengan kesadaran wawasan nusantara.

Seperti organisasi yang dependen terhadap NU, maka PP PMII dengan surat tanggal 8 Juni 960 mengirim surat permohonan kepada PBNU untuk mengesahkan kepengurusan PP PMII. Pada tanggal 14 Juni 1960 PBNU menyatakan bahwa organisasi PMII dapat diterima dengan sah sebagai keluarga besar partai NU dan diberi mandat untuk membentuk cabang-cabang diseluruh Indoneia.

Musayawarah mahasiswa nahdliyin di Surabaya hanya menghasilkan peraturan dasar organisasi PMII, maka untuk melengkapinya dibentuk suatu panitia keil yang diketuai oleh M. Said Budairy dan Fahrurrozi AH untuk membuat anggaran rumah tangga PMII. Dalam sidang pleno II PP PMII yang diselenggarakn pada tanggal 8 – 9September 1960 peraturan rumah tangga PMII dinyatakan sah berlaku. Pada sidang itu pula disahkan labang PMII dan pokok pokok aturan mengenai anggota baru.

Lambang tersebut berupa perisai berwarna dasar biru muda di bagian bawah dan kuning muda di bagian atas dengan garis tepi berwarna biru tua dan tulisan balok PMII berwarna biru tua di bagian bawah perisai. Di bagian atas perisai terdapat lima buah bintang dengan ukuran sama kecuali bintang di tengah yang memiliki ukuran lebih besar. Di bagian bawah perisai terdapat empat buah bintang dengan ukuran sama dengan empat bintang lain di perisai bagian atas. Letak kesembilan bintang tersebut simetris dan seluruhnya berwarna putih. Lima bintang di bagian atas perisai menggambarkan rukun iman dan sekaligus menunjukkan Rasulullah bersama keempat Khulafa’u `l-rasyidin. Empat bintang di perisai bagian bawah menunjukkan empat madzhab fiqh dalam tradisi ahlu `l-sunnah wa `l-jama’ah. Kaseluruhan bintang berjumlah sembilan menunjukkan dewan ulama waliyullah pembawa Islam di Nusantara. Bentuk perisai menunjukkan Islam sebagai ajaran Islam sebagai benteng bagi kader pergerakan. Warna putih mewakili kebenaran ajaran Islam, warna kuning mewakili semangat kepemudaan yang dimiliki kader, warna biru muda menunjukkan cita-cita untuk dapat memiliki wawasan seluas cakrawala dan biru tua mewakili cita-cita untuk memeiliki ilmu sedalam samudera.

Di bendera lambang ini dicetak pada kain kning muda dengan huruf-huruf P-M-I-I tertulis vertikal di tepi kiri bendera. Huruf-huruf tersebut berwarna biru tua dan dibatasi sebuah garis vertical dengan warna yang sama.
Awal mula berdirinya PMII memang lebih dimaksudkan sebagai alat untuk memperkuat partai NU. Hal ini terlihat jelas dalam aktivitas PMII antara 1960- 1972 (sebelum PMII menyatakan independent) sebagaian besar program-programnya beorintasi poliitis. Ada beberapa hal yang melatar belakangi. Diantaranya: Pertama, adanya anggapan bahwa PMII dilahirkjan sebagi kader muda partai NU. Kedua, suasana kehidupan berbangsa dan bernegara sangat kodusif untuk gerakan-gerakan politik. Keadaan waktu itu memang sangat kondusif bagi organisasi mahasiswa untuk bersikap politis bahkan partai Minded. Meningkatnya jumlah organisasi mahasiswa disertai oleh meningkatnya peran mereka secata kualitas dan dibukanya kesempatan mobilitas sosial dibidang poitik. Wakku itu seluruh organisasi mahasiwa berafiliasi dengan partai politik. Kalau PMII juga aktif di bidang politik, hal itu didasari pada penolakan terhadap prinsip ilmu untuk ilmu. Hal ini ditegaskan dalam Dokumen gelora Megamendung, yaiitu pokok-pokok pikiran training course II PP PMII pada tanggal 17 -27 April 1965 di Megamendung, Bogor, Jawa Barat yang menolak tegas prinsip ilmu untuk ilmu. Dalam pidato Abdul Rokhim Hasan didepan forum konggres PMII ke-4 di Makasar pada tahun 1970 “Mengapa PMII mesti Berpoliik? Bukankan itu akan menganggu tugas utamanya, belajar dan belajar? Bukankan persoalan politik itu setelah lulus dan terjun ditengah masyarakat? Ruang kuliah adalah preparasi untuk politik itu. Gerakan–gerakan kita adalah gerakan belajar dan gerakan politik sekaligus. Mengapa PMII berpolitik baik secara praktis maupun konseptual, belajar dan berpolitik bukanlah suatu hal yang tabu, tetapi justru prinsip polotik iiu adalah kebersamaan dengan keberadaaan PMII itu sendiri”. Sedangkan Mahbub Junaidi mengatakan “mereka bilang mahasiswa yang baik adalah mahasiswa non partai, bahkan non politis, yang berdiri di atas semua golongan, tidak ke sana, tidak ke sini, seoerti seorang mandor yang tidak berpihak, sebaiknya kita beranggapan, justru mahasiswa itulah yang harus berpartisipasi secara konkret dengan kegiatan-kegiatan partai politik”
Independesi
Salah satu momentum sejarah perjalanan PMII yang membawa perubahan besar pada perjalanan PMII adalah dicetuskannya “Independensi PMII” pada tanggal 14 Juni 1972 di Murnajati Lawang Malang, Jawa Timur, yang kemudian kita kenal dengan Deklarasi Murnajati. Lahirnya deklarasi ini berkenaan dengan situasi politik Nasional, ketika peran partai politik dikebiri dan mulai dihapuskan, termasuk terhadap partai NU. Ditambah lagi dengan digiringnya peran mahasiswa dengan komando back to campus. Keterlibatan PMII dalam dunia politik praktis yang terlalu jauh pada pemilu 1971 sangat merugikan PMII. Kondisi ini akhirnya disikapi dengan deklarasi berpisahnya PMII secara structural dari partai NU. Deklarasi terebut adalah:
DEKLARASI MURNAJATI
Bismillahirrahmanirrahiem
“Kamu sekalian adalah sebaik-baik umat yang dititahkan kepada manusia untuk memerintahkan kebaikan dan mencegah pertbuatan yang mungkar” (Al-Quir’an)
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) insyaf dan yakin serta tanggung jawab terhadap masa depan kehidupan bangsa yang sejahtera selaku penerus perjuangan dalam mengisis kemerdekaan Indonesia dengan pembangunan material dan spiritual. Bertekat untuk memepersiapkan dan mengembangkan diri dengan sebaik-baiknya:
  • bahwa pembangunan dan pembaharuan mutlak memerlukan insan-insan Indonesia yang memiliki pribadi luhur, taqwa kepada Allah, berilmu dan cakap serta bertanggungjawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya
  • bahwa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMIII) selaku generasi muda Indonesia sadar akan peranannya untuk ikut serta bertanggungjawab bagi berhasilnya pembangunan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat
  • bahwa perjuangan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan idealisme sesuai dengan deklarasi Tawangmangu menuntut berkembangnya sifat-sifat kreatif, keterbukaan dalam sikap dan pembinaan rasa tanggung jawab
  • berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) serta dengan memohon rahmat Allah SWT, dengan ini menyatakan diri sebagai organisasi independent yang tidak terikat dalam sikap dan tindakan kepada siapa pun dan hanya komited dengan perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan pancasila

Mussyawarah Besar II
Pergerakan Mahsiswa Islam Indonesia
Di Murnajati Lawang Malang
Jawa Timur 14 Juli 1972
Tim Perumus:
  1. Umar Basalim (Yogyakarta)
  2. Madjidi Syah (Bandung)
  3. Slamet Efendi Yusuf (Yogyakarta)
  4. Man Muhammad Iskandar (Bandung)
  5. Choirunnisa Yafizham (Medan)
  6. Tatik Farikhah (Surabaya)
  7. Rahaman Idrus (Suloawesi)
  8. Muis Kabri (Malang)
Keputusan Musyawarah besar II tentang independensi itu kemudian diperkuat dengan manifesto independensi yang dihasilkan Kongres V PMII di Ciloto Bandung Jawa Barat pada tanggal 28 Desmber 1973. Selanjutnya kembali diperkokoh dengan Penegasan Cibogo yang dihasilkan pada rapat pleno PB PMII di Cibogo, 8 Oktober 1989. Deklarasi ini lahir sebagai penyikapan atas banyaknya keinginan menjelang Muktamar NU ke-28 yang mengharapkan PMII mempertimbangkan kembali independensinya
Interdependensi PMII NU
Sejarah mencatat, PMII dilahirkan dari pergumulan panjang mahasiswa nahdliyin, dan kemudian menyatakan independensinya pada tahun 1972. Di sisi lain ada kenyataan bahwa kerangka berpikir, perwatakan dan sikap sosial antara PMII dan NU mempunyai persamaan. PMII insaf dan sadar bahwa dalam melaksanakan perjuangan diperlukan saling tolong. Karena PMII dengan NU mempunyai persamaan–persammaan dalam persepsi keagamaan dan perjuanagn, visi sosial dan kemasyarakan, serta ikatan historis, maka untuk menghilangkan kergu-raguan serta saling curiga dan sebaliknya untuk menjalin kerja sama program secara kualitatif dan fungsional, baik melaui program nyata maupun persiapan sumber daya mannusia, PMII siap meningkatkan kualitas hubungan dengan NU atas prinsip kedaulatan organisai penuh, interdependensi, dan tidak ada interfensi secara strutural dan kelembagaan.

Deklarasi ini dicetuskan dalam kongres X PMII pada tanggal 27 Oktober 1991 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta .

Untuk mempertegas deklarasi interdependensi PMII-NU melalui musyawarah nasional PB PMII tanggal 24 Desemser 1991 di Cimacan Jawa Barat, PB PMII mengeluarkan keputusan tentang implementasi interdependensi PMII – NU .penegasan hubungan itu didasarka pemikiran – pemikiran antara lain :
  1. dalam pandangan PMII, ulama adalah pewaris kenabian.Ulama merupakan panutan karena kedalamannya dalam pemahaman keagamaan. Oleh karena itu, interdependensi PMII–NU ditempatkan dalam konteks keteladanan ulama dalam kehidupan bermasyarakat, bebangsa dan bernegara.
  2. adanya ikatan kesejarahan yang bertautan antara PMII–NU. Realitas sejarah menunjukkan bahwa PMII lahir dari NU dan dibesarkan oleh NU, demikian juga latar belakang mayoritas kader PMII berasal dari NU, sehingga secara lagsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi perwatakan PMII. Adapun pernyataan independensi PMII hendaknya tidak dipahami sebagai upaya mengurangi, apalagi menghapus arti kesejarahan tersebut.
  3. adanya persamaan paham keagamaan antara PMII dan NU. Keduanya sama-sama mengembangkan wawasan keislaman dengan paradigma pemahaman Ahlussunah Wal Jama’ah. implikasi dari wawasan keagamaan itu tampak pula pada persamaan sikap sosial yang bercirikan tawasuth, tasamuh, tawazun, I’tidal dan amar ma’ruf nahi munkar. Demikian juga d idalam pola pikir, pola sikap, serta pola tindak PMII dan NU menganut pola selektif, akomodatif dan integrative sesuai prinsip dasar Al-muhafadhotu ‘ala qodimi `i-sholih wa `l-ahdzu bi `l-jadidi `l-aslah
  4. adanya persamaan kebangsaan. Bagi PMII dan NU keutuhan komitmen keislaman dan keindonesiaan merupakan perwujudan kesadaran beragama dan berbangsa bagi setiap insan muslim Indonesia, dan tas dasar tersebut maka menjadi keharusan untuk memepertahankan bangsa dan negara Indonesia.
  5. adanya persamaan kelompok sasaran. PMII dan NU memiliki mayoritas anggota dari kalangan masyarakat kelas menengah kebawah,. Persamaan lahan perjuangan ini, semestinya melahirkan format perjuangan yang relatif sama pula.
    Sekurang - kurangnya terdapat lima prinsip pokok yang semestinya dipegang bersama untuk merealisasikan interdependensi PMII – NU :
    1. Ukhuwah islamiyah
    2. Amar ma’ruf nahi munkar
    3. mabadi khoiri umah
    4. `l-musawah
    5. hidup bedampingan dan berdaulat secara benar.
      Implementasi interdependensi PMII – NU diwujudkan daklanm berbagai benruk kerja sama:
      1. pemikiran. Kerja sama dibidang ini untuk mengembangkan pemikiran keislaman
      2. sumber daya manusia. Kerja sama dibidang ini ditekankan pada penmanfaatan secara maksimal manusia – manusia PMII maupun NU
      3. pelatihan. Kerja sama dibidang pelatihan ini dirancang untuk pengembangan sumber daya manusia baik PMII maupun NU.
      4. rintisan program. Kerja sama in berbentuk pengelolaan suatu program secsara bersama.
        Selain menghasilkan deklarasi interdependensi, pada waktu itu juga ditetapkan:
        MOTTO PMII:
        Berilmu, beramal, dan bertaqwa
        TRIKHIDMAH PMII:
        Taqwa, intelektualitas, dan profesionalitas
        TRI KOMITMEN PMII:
        Kejujuran, kebenaran, dan keadilan
        EKACITRA DIRI PMII:
        Ulul albab
Citra diri Kader Ulul Albab
Kader PMII yang diidamkan dicitrakan sebagai kader ulul albab. Kader ulul albab adalah seorang kader pelopor. Siapakah kader pelopor tersebut? Seorang kader pelopor harus memiliki karakter seorang pathfinder. Karakter ini bermakna bahwa ia harus mampu secara kreatif menemukan jalan keluar dan solusi bagi keterbatasan komunitas dan kebuntuan-kebutuan sejarah. Karena seorang penemu, maka dia juga seorang pemandu, yang mensyaratkan sebuah keterlibatan intim dalam pergulatan sosial, seorang intelektual organik, bukan semata-mata menjadi intelektual yang fasih menduplikasikan pemikiran orang lain

Proyeksi material dari kader pelopor adalah kader yang memiliki kualifikasi seorang social organizer dan community organizer, ia harus menjalankan fungsi: pertama, analyzing (melakukan analisa sosial terhadap setiap fenomena sosial); kedua, orienting (memberikan orientasi, arahan-arahan, maupun perspektif bagi dirinya maupun komunitasnya); ketiga, organizing (mengorganisir dan menggalang kekuatan sosial dalam kerangka suatu organisasi yang rapi); keempat, bridging (menjembatani kekuatan-kekuatan pro-perubahan dalam satu front bersama). Seorang kader harus berkesadaran historis-primordial dan berjiwa optimis serta dialektis, kritis, dan transformatif.

Kader PMII yang diidamkan adalah kader yang memiliki kualitas ilmu, sikap, kecakapan serta tanggung jawab. Kualitas itu dapat digambarkan sebagai kualitas taqwa, intelektual, dan professional, yang dijiwai semangat dzikir, fakir, dan amal shalih. Dan itulah profil ulul albab.

Kader ulil albab merupakan profil Qur’ani, kader yang meyakini sepenuhnya kebenaran Al-Qur’an dengan menyelami kedalaman (tadabbur) makna ayat-ayatnya [QS Shad:29 ; Ibrahim:52; At-Thalaq:10-11]. Oleh sebab itu, kader ulul albab senantiasa mawas diri dalam suasana apapun, dan pada saat yang sama gandrung melakukan kontemplasi dan pengembaraan itelektual untuk menemukan sunatullah dalam alam semesta [Ali Imron: 190-191]. Equalitas dzikir dan fakir adalah citra diri ulil albab.

Kader ulil albab tidak menutup diri secara eksklusif, melainkan merupakan sosok kosmopolit dan akomodatif, bersedia mendengar siapa saja dan siap menerima yang terbaik secara sportif [Az-Zumar:18]. Kader ulil albab memiliki kesadaran sejarah yang tinggi, dan mampu menarik pelajaran berharga dari peristiwa-peristiwa sejarah untuk melakukan antisipasi dan proyeksi ke masa depan secara baik [Yusuf:111; Shad:43]. Hal itu diperkuat dengan kepekaan dalam melihat realitas disekitarnya [Az-Zumar:21]. Lebih dari itu kader ulil albab memiliki keinginan untuk menyingkap hakekat yang tersembunyi di balik realitas [Ali Imron:7; Al-Baqarah:179,269; Al-Maidah:100], sehingga ia benar-benar menjadi insan yang memiliki kesadaran sepenuhnya.

Pada ahirnya kualitas kader ulil albab akan dilihat dari kecakapan dan tanggungjawabnya. Seluruh kualitas moral dan intelektualnya kemudian bermuara pada amal shalih [Al-Baqarah:197; Az-Zumar:9; Ar-Rad:19-21]. Karena hidup dan mati ini sesungguhnya diciptakan sebagai instrumen untuk menguji siapa yang dapat menunjukkan amal yang terbaik [Al-Mulk:2]. Perubahan sosial menuju tata sosial yang dicita-citakan (mina `l-dzulumat ila `l-nur) adalah ukuran keberhasilan seorang kader.

Pengertian Kepemimpinan (Leadership)

Pengertian Kepemimpinan (Leadership)

Stogdill (1974) menyimpulkan bahwa banyak sekali definisi mengenai kepemimpinan. Hal ini dikarenakan banyak sekali orang yang telah mencoba mendefinisikan konsep kepemimpinan tersebut. Namun demikian, semua definisi kepemimpinan yang ada mempunyai beberapa unsur yang sama.

Sarros dan Butchatsky (1996), "leadership is defined as the purposeful behaviour of influencing others to contribute to a commonly agreed goal for the benefit of individual as well as the organization or common good". Menurut definisi tersebut, kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi. Sedangkan menurut Anderson (1988), "leadership means using power to influence the thoughts and actions of others in such a way that achieve high performance".

Berdasarkan definisi-definisi di atas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi. Antara lain:
Pertama: kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga.

Kedua: seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his or herpower) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Menurut French dan Raven (1968), kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin dapat bersumber dari:
  • Reward power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan dan sumberdaya untuk memberikan penghargaan kepada bawahan yang mengikuti arahan-arahan pemimpinnya.
  • Coercive power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan memberikan hukuman bagi bawahan yang tidak mengikuti arahan-arahan pemimpinnya
  • Legitimate power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai hak untuk menggunakan pengaruh dan otoritas yang dimilikinya.
  • Referent power, yang didasarkan atas identifikasi (pengenalan) bawahan terhadap sosok pemimpin. Para pemimpin dapat menggunakan pengaruhnya karena karakteristik pribadinya, reputasinya atau karismanya.
  • Expert power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin adalah seeorang yang memiliki kompetensi dan mempunyai keahlian dalam bidangnya.
Para pemimpin dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi.

Ketiga: kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication) dalam membangun organisasi. Walaupun kepemimpinan (leadership) seringkali disamakan dengan manajemen (management), kedua konsep tersebut berbeda.

Perbedaan antara pemimpin dan manajer dinyatakan secara jelas oleh Bennis and Nanus (1995). Pemimpin berfokus pada mengerjakan yang benar sedangkan manajer memusatkan perhatian pada mengerjakan secara tepat ("managers are people who do things right and leaders are people who do the right thing, "). Kepemimpinan memastikan tangga yang kita daki bersandar pada tembok secara tepat, sedangkan manajemen mengusahakan agar kita mendaki tangga seefisien mungkin.

Model-Model Kepemimpinan

Banyak studi mengenai kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang dibahas dari berbagai perspektif yang telah dilakukan oleh para peneliti. Analisis awal tentang kepemimpinan, dari tahun 1900-an hingga tahun 1950-an, memfokuskan perhatian pada perbedaan karakteristik antara pemimpin (leaders) dan pengikut/karyawan (followers). Karena hasil penelitian pada saat periode tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat satu pun sifat atau watak (trait) atau kombinasi sifat atau watak yang dapat menerangkan sepenuhnya tentang kemampuan para pemimpin, maka perhatian para peneliti bergeser pada masalah pengaruh situasi terhadap kemampuan dan tingkah laku para pemimpin.

Studi-studi kepemimpinan selanjutnya berfokus pada tingkah laku yang diperagakan oleh para pemimpin yang efektif. Untuk memahami faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkah laku para pemimpin yang efektif, para peneliti menggunakan model kontingensi (contingency model). Dengan model kontingensi tersebut para peneliti menguji keterkaitan antara watak pribadi, variabel-variabel situasi dan keefektifan pemimpin.

Studi-studi tentang kepemimpinan pada tahun 1970-an dan 1980-an, sekali lagi memfokuskan perhatiannya kepada karakteristik individual para pemimpin yang mempengaruhi keefektifan mereka dan keberhasilan organisasi yang mereka pimpin. Hasil-hasil penelitian pada periode tahun 1970-an dan 1980-an mengarah kepada kesimpulan bahwa pemimpin dan kepemimpinan adalah persoalan yang sangat penting untuk dipelajari (crucial), namun kedua hal tersebut disadari sebagai komponen organisasi yang sangat komplek.

Dalam perkembangannya, model yang relatif baru dalam studi kepemimpinan disebut sebagai model kepemimpinan transformasional. Model ini dianggap sebagai model yang terbaik dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan watak, gaya dan kontingensi.
Berikut ini akan dibahas tentang perkembangan pemikiran ahli-ahli manajemen mengenai
model-model kepemimpinan yang ada dalam literatur.

(a) Model Watak Kepemimpinan (Traits Model of Leadership)
Pada umumnya studi-studi kepemimpinan pada tahap awal mencoba meneliti tentang watak
individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan, kejujuran,
kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara, kesupelan dalam bergaul, status sosial ekonomi
mereka dan lain-lain (Bass 1960, Stogdill 1974).

Stogdill (1974) menyatakan bahwa terdapat enam kategori faktor pribadi yang membedakan antara pemimpin dan pengikut, yaitu kapasitas, prestasi, tanggung jawab, partisipasi, status dan situasi. Namun demikian banyak studi yang menunjukkan bahwa faktor-faktor yang membedakan antara pemimpin dan pengikut dalam satu studi tidak konsisten dan tidak didukung dengan hasil-hasil studi yang lain. Disamping itu, watak pribadi bukanlah faktor yang dominant dalam menentukan keberhasilan kinerja manajerial para pemimpin. Hingga tahun 1950-an, lebih dari 100 studi yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi watak atau sifat personal yang dibutuhkan oleh pemimpin yang baik, dan dari studi-studi tersebut dinyatakan bahwa hubungan antara karakteristik watak dengan efektifitas kepemimpinan, walaupun positif, tetapi tingkat signifikasinya sangat rendah (Stogdill 1970).

Bukti-bukti yang ada menyarankan bahwa "leadership is a relation that exists between persons in a social situation, and that persons who are leaders in one situation may not necessarily be leaders in other situation" (Stogdill 1970). Apabila kepemimpinan didasarkan pada faktor situasi, maka pengaruh watak yang dimiliki oleh para pemimpin mempunyai pengaruh yang tidak signifikan. Kegagalan studi-studi tentang kepimpinan pada periode awal ini, yang tidak berhasil meyakinkan adanya hubungan yang jelas antara watak pribadi pemimpin dan kepemimpinan, membuat para peneliti untuk mencari faktor-faktor lain (selain faktor watak), seperti misalnya faktor situasi, yang diharapkan dapat secara jelas menerangkan perbedaan karakteristik antara pemimpin dan pengikut.

(b) Model Kepemimpinan Situasional (Model of Situasional Leadership)
Model kepemimpinan situasional merupakan pengembangan model watak kepemimpinan
dengan fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan kepemimpinan. Studi
tentang kepemimpinan situasional mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melaksanakan tugas-tugas organisasi secara efektif dan efisien. Dan juga model ini membahas aspek kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan watak kepribadian pemimpin.

Hencley (1973) menyatakan bahwa faktor situasi lebih menentukan keberhasilan seorang pemimpin dibandingkan dengan watak pribadinya. Menurut pendekatan kepemimpinan situasional ini, seseorang bisa dianggap sebagai pemimpin atau pengikut tergantung pada situasi atau keadaan yang dihadapi. Banyak studi yang mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik situasi khusus yang bagaimana yang mempengaruhi kinerja para pemimpin. Hoy dan Miskel (1987), misalnya, menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kinerja pemimpin, yaitu sifat struktural organisasi (structural properties of the organisation), iklim atau lingkungan organisasi (organisational climate), karakteristik tugas atau peran (role characteristics) dan karakteristik bawahan (subordinate characteristics). Kajian model kepemimpinan situasional lebih menjelaskan fenomena kepemimpinan dibandingkan dengan model terdahulu. Namun demikian model ini masih dianggap belum memadai karena model ini tidak dapat memprediksikan kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang mana yang lebih efektif dalam situasi tertentu.

(c) Model Pemimpin yang Efektif (Model of Effective Leaders)
Model kajian kepemimpinan ini memberikan informasi tentang tipe-tipe tingkah laku (types of behaviours) para pemimpin yang efektif. Tingkah laku para pemimpin dapat dikatagorikan menjadi dua dimensi, yaitu struktur kelembagaan (initiating structure) dan konsiderasi (consideration). Dimensi struktur kelembagaan menggambarkan sampai sejauh mana para pemimpin mendefinisikan dan menyusun interaksi kelompok dalam rangka pencapaian tujuan organisasi serta sampai sejauh mana para pemimpin mengorganisasikan kegiatan-kegiatan kelompok mereka. Dimensi ini dikaitkan dengan usaha para pemimpin mencapai tujuan organisasi. Dimensi konsiderasi menggambarkan sampai sejauh mana tingkat hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya, dan sampai sejauh mana pemimpin memperhatikan kebutuhan sosial dan emosi bagi bawahan seperti misalnya kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja dan penghargaan yang mempengaruhi kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi konsiderasi ini juga dikaitkan dengan adanya pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi dua arah, partisipasi dan hubungan manusiawi (human relations).

Halpin (1966), Blake and Mouton (1985) menyatakan bahwa tingkah laku pemimpin yang efektif cenderung menunjukkan kinerja yang tinggi terhadap dua aspek di atas. Mereka berpendapat bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menata kelembagaan organisasinya secara sangat terstruktur, dan mempunyai hubungan yang persahabatan yang sangat baik, saling percaya, saling menghargai dan senantiasa hangat dengan bawahannya. Secara ringkas, model kepemimpinan efektif ini mendukung anggapan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang dapat menangani kedua aspek organisasi dan manusia sekaligus dalam organisasinya.

(d) Model Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model)
Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel situasional. Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel 1987).

Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power).

Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu
dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions).Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House 1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok: supportive leadership (menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim kerja yang bersahabat), directive leadership (mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada), participative leadership (konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan keputusan) dan achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi yang menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan).

MenurutPath-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan modelmodel sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.

(e) Model Kepemimpinan Transformasional (Model of Transformational Leadership)

Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi.

Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya. Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa "the dynamic of transformational leadership involve strong personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or goingbeyond the self-interest exchange of rewards for compliance". Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harusmempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan. Menurut Yammarino dan Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih besar.

Yammarino dan Bass (1990) juga menyatakan bahwa pemimpin transformasional mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual, dan menaruh parhatian pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh bawahannya. Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Tichy and Devanna (1990), keberadaan para pemimpin transformasional mempunyai efek transformasi baik pada tingkat organisasi maupun pada tingkat individu.

Dalam buku mereka yang berjudul "Improving Organizational Effectiveness through Transformational Leadership", Bass dan Avolio (1994) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai "the Four I's". Dimensi yang pertama disebutnya sebagai idealized influence (pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya. Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational motivation (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme. Dimensi yang ketiga disebut sebagai intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi. Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized consideration (konsiderasi individu). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir. Walaupun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relatif baru, beberapa hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang dipaparkan oleh Bass dan Avilio di atas. Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin (Sarros dan Butchatsky 1996). Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan menyempurnakan konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi (seperti misalnya Weber 1947) dan ahli-ahli politik (seperti misalnya Burns 1978).

Beberapa ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan yang mirip dengan kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan yang karismatik, inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Meskipun terminologi yang digunakan berbeda, namun fenomenafenomana kepemimpinan yang digambarkan dalam konsep-konsep tersebut lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya. Bryman (1992) menyebut kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the new leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership).

Disebut sebagai penerobos karena pemimpim semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan. Pemimpin penerobos memahami pentingnya perubahan-perubahan yang mendasar dan besar dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dalam mencapai hasil-hasil yang diinginkannya. Pemimpin penerobos mempunyai pemikiran yang metanoiac, dan dengan bekal pemikiran ini sang pemimpin mampu menciptakan pergesaran paradigma untuk mengembangkan Praktekorganisasi yang sekarang dengan yang lebih baru dan lebih relevan. Metanoia berasaldari kata Yunani meta yang berarti perubahan, dan nous/noos yang berarti pikiran.
Dengan perkembangan globalisasi ekonomi yang makin nyata, kondisi di berbagai pasar dunia makin ditandai dengan kompetisi yang sangat tinggi (hyper-competition). Tiap keunggulan daya saing perusahaan yang terlibat dalam permainan global (global game) menjadi bersifat sementara (transitory). Oleh karena itu, perusahaan sebagai pemain dalam permainan global harus terus menerus mentransformasi seluruh aspek manajemen internal perusahaan agar selalu relevan dengan kondisi persaingan baru.

Pemimpin transformasional dianggap sebagai model pemimpin yang tepat dan yang mampu untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi, produktifitas, dan inovasi usaha guna meningkatkan daya saing dalam dunia yang lebih bersaing.